Siapa yang
tidak kenal dengan Fatimah,sang Putri Rasul? Walaupun gak pernah dijabarkan seperti
apa rupanya,tapi jaminan mutu pasti cantik banget. Fatimah itu Puteri
Rasululullh SAW yang notabene masih keturunan bangsawan. Yah kita lihatlah ya
keturunan bangsawan keraton aja bening-bening.. Gimana keturunan bangsawan
Arab? Untuk selingan aja dulu ya. Rasulullah itu tampan banget.
Ada rahasia
terdalam di hati Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah. Karib
kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh
memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya. Lihatlah
gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan
kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan
penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya.
Semuanya
dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang
Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis cilik itu
bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang
semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam
diam. Fatimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi
mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali. Mengagumkan!
‘Ali tak
tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu
hari mendengar kabar yang mengejutkan. Fathimah dilamar seorang lelaki yang
paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang
membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman
dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.
”Allah mengujiku rupanya”, begitu
batin ’Ali.
Ia merasa
diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakr. Kedudukan di sisi Nabi? Abu
Bakr lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti
’Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi.
Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah
sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya.
’Ali hanya
pemuda miskin dari keluarga miskin. ”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam
’Ali.
”Aku
mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas
cintaku.”
Cinta tak
pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan.
Ia
adalah keberanian, atau pengorbanan.
Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.
Lamaran Abu
Bakr ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. Ah,
ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakr mundur, datanglah melamar
Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang
sejak masuk Islamnya membuat kaum Muslimin berani tegak mengangkat muka,
seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh- musuh Allah
bertekuk lutut.
’Umar adalah
lelaki pemberani. ’Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam
pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi
Fathimah binti Rasulillah! Tidak. ’Umar jauh lebih layak. Dan ’Ali ridha.
Cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil kesempatan, Itulah keberanian.
Atau mempersilakan, Yang ini pengorbanan.
Maka ’Ali
bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ’Umar juga ditolak. Menantu macam apa
kiranya yang dikehendaki Nabi? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh
membuatnya hilang kepercayaan diri.
”Mengapa
bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu
membangunkan lamunan. ”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya
firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi.. ”
”Aku?”,
tanyanya tak yakin.
”Ya. Engkau wahai saudaraku!”
”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”
”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”
”Ya. Engkau wahai saudaraku!”
”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”
”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”
’Ali pun menghadap
Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk
menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang
menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah
persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun
untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas
waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua
sekarang.
”Engkau
pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap
bertanggungjawab atas cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan-
pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya. Lamarannya berjawab,
”Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi.
Dan ia pun
bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan
sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk
menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan
kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung
berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah,
itu menyakitkan.
”Bagaimana
jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”
”Entahlah..”
”Apa maksudmu?”
”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”
”Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka,
”Entahlah..”
”Apa maksudmu?”
”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”
”Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka,
”Eh, maaf
kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja
sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan!
Dua-duanya berarti ya !”
Dan ’Ali pun
menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula
ingin disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar
cicilannya. Itu hutang.
Dengan
keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ’Umar, dan Fathimah.
Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti.
’Ali adalah
gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa
‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!” Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan
yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab. Dan di sini,
cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti ’Ali. Ia mempersilakan. Atau
mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian.
Dan ternyata
tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi, dalam suatu riwayat
dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada
‘Ali, “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali jatuh
cinta pada seorang pemuda ”
‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau menikah denganku? dan Siapakah pemuda itu?”
Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu”
Ternyata
memang dari dulu Fatimah sudah mempunyai perasaan dengan Ali dan menunggu Ali
untuk melamarnya. Begitu juga dengan Ali, dari dulu dia juga sudah mempunyai
perasaan dengan Fatimah. Tapi mereka berdua sabar menyembunyikan perasaan itu
sampai saat nya tiba, sampai saatnya ijab Kabul disahkan. Walaupun Ali sudah
merasakan kekecewaan 3 kali keduluan orang lain, akhirnya kekecewaan itu
terbayar juga.
Yup, sekali
lagi, kata-kata ini pasti akan muncul dalam benak anda >>> “Jodoh
memang tidak kemana”
Naah, dari
cerita itu, lebih memperjelas lagi kan bahwa “Cinta itu, mengambil kesempatan,
atau mempersilakan yang lain”
Tjin's Sugar Boo Extra Long Digital Titanium Styler
BalasHapusTjin's Sugar sunscreen with titanium dioxide Boo Extra Long Digital Titanium titanium earrings for sensitive ears Styler is sugarboo extra long digital titanium styler a chrome titanium wok finished titanium bmx frame aluminium style bicycle bicycle handle. It has been designed and manufactured by $3.99 · In stock